Edisi 1803
Kita memuja dan memuji Allah, Dzat Pemberi berbagai nikmat terutama nikmat Islam, iman dan sunnah. Tak lupa kita bershalawat dan salam atas kekasih Allah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para shahabat serta orang-orang yang senantiasa setia menempuh jalan petunjuk beliau hingga hari kemudian.
Kalimat syahadat laa ilaha illallaah ini tak asing bagi kita. Kita senantiasa membacanya dalam shalat, tepatnya ketika tasyahud. Ia merupakan salah satu dari rangkaian dua kalimat syahadat yaitu syahaadatu an laa ilaha illallah dan syahaadatu anna muhammadar rasulullah. Dengan mengikrarkannya, seorang yang kafir menjadi muslim. Syahadat ini disebut syahadat tauhid, karena mengandung pentauhidan Allah Ta‘ala dalam ibadah.
Demikian pentingnya syahadat ini, sehingga ia menjadi bagian terpenting dari rukun Islam yang pertama. Oleh sebab itu, sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memahami kandungan makna, rukun, syarat, dan konsekuensi (tuntutan) syahadat ini.
Makna Syahadat “laa ilaha illallah”
Maknanya adalah meyakini dan mengikrarkan bahwa tiada sesuatupun yang berhak diibadahi kecuali Allah Ta’ala, dengan tetap teguh di dalamnya dan melaksanakan tuntutannya.
Berikut ini akan disebutkan makna-makna yang keliru ketika menafsirkan laa ilaha illallah:
1) Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan laa ma’buda illallah. Tafsiran tersebut berarti tiada sesembahan selain Allah. Ini makna yang berkonsekuensi batil, karena mengandung makna bahwa setiap sesembahan, baik yang haq maupun yang batil adalah Allah.
2) Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan laa khaliqa illallah. Hal ini bermakna tiada pencipta selain Allah. Ini makna yang kurang, karena hanya mengandung sebagian dari kandungan makna laa ilaha illallah, yaitu tauhid rububiyah. Sementara itu, kandungan makna kalimat laa ilaha illallah ini adalah tauhid ibadah yang mencakup tauhid rububiyah.
Andaikan makna laa ilaha illallah benar jika ditafsirkan dengan laa khaliqa illallah (tiada pencipta selain Allah), tentulah Iblis laknatullah ‘alaihi dan orang-orang kafir di masa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam termasuk muslim, karena mereka mengakui bahwa Allah Sang Pencipta, Penguasa, Pemilik dan Pemelihara alam jagad raya.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “(Iblis) berkata, ‘Aku lebih baik daripada dia (Adam). Engkau ciptakan aku dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Q.S. Al-A’raf:12).
Allah Ta’ala menyatakan keyakinan orang kafir di masa Nabi kita dalam firman-Nya (yang artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad, kepada orang kafir), ‘Milik siapakah bumi dan apa yang ada di dalamnya, jika kamu mengetahui?’. Mereka akan menjawab, ‘Milik Allah’. Katakanlah, ‘Maka apakah kamu tidak ingat?’. Katakanlah, ‘Siapakah Tuhan (Pencipta dan Pemelihara) langit yang tujuh dan Tuhan ‘arsy yang agung?’. Pasti mereka menjawab, ‘Allah’. Katakanlah (kepada mereka), ‘Mengapa kamu tidak bertaqwa?’.” (Q.S.Al-Mu’minun : 84-87).
Jika tafsir tersebut benar, tentulah orang-orang kafir Quraisy dan yang semisal mereka akan menerima dakwah Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Namun nyatanya tatkala Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam menyeru mereka, “Ucapkanlah laa ilaha illallah, niscaya kalian akan beruntung (di dunia dan akhirat)”, (H.R. Ahmad dan lainnya), mereka pun lantas membantah dengan ucapan mereka.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah dia menjadikan sesembahan-sesembahan itu hanya satu sesembahan (Allah) saja?! Sungguh ini sesuatu yang aneh.” (Q.S. Shad : 5).
3) Laa ilaha illallah ditafsirkan dengan laa hakima illallah yaitu tiada pembuat hukum (hakim) kecuali Allah. Makna ini pun kurang tepat dan tidak sempurna, karena masih saja mengandung sebagian dari kandungan makna laa ilaha illallah yaitu tauhid rububiyah. Jelasnya, jika seseorang mentauhidkan Allah dalam hukum, namun bersamaan dengan itu dia beribadah kepada selain Allah, maka tetap saja dia belum merealisasikan tuntutan kalimat tauhid ini.
Makna yang benar dari tafsir laa ilaha illallah
Maknanya adalah adalah laa ma’buda bi haqqin illallah, yaitu tiada sesembahan yang haq (berhak disembah) melainkan Allah. Hal ini berdasarkan Al-Quran surah Shad ayat 5 dan hadits riwayat Ahmad di atas, di mana orang-orang kafir di masa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari dakwah beliau untuk mentauhidkan Allah.
Rukun Syahadat laa ilaha illallah
Kalimat laa ilaha illallah memiliki 2 rukun, yaitu An-Nafyu (penafian/peniadaan) dan Al-Itsbat (penetapan). Kedua rukun ini diambil dari 2 penggalan kalimat tauhid laa ilaaha dan illallah. Rinciannya sebagai berikut:
Laa ilaaha = An-Nafyu, yaitu meniadakan dan meninggalkan segala bentuk kesyirikan serta mengingkari segala sesuatu yang disembah selain Allah Ta’ala.
Illallah = Al-Itsbat, yaitu menetapkan bahwa tidak ada yang berhak disembah dan diibadahi melainkan Allah, serta beramal dengan landasan ini.
Banyak ayat Al-Quran yang mencerminkan 2 rukun ini. Di antaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengingkari thaghut (sesembahan selain Allah) dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat laa ilaha illallah).” (Q.S. Al-Baqarah : 256).
Syarat Syahadat laa ilaha illallah
Syarat-syarat berikut harus dipenuhi oleh orang yang melafalkan kalimat tauhid, agar kalimat tersebut berfaidah baginya:
1) Berilmu dan memahami kandungan makna dan rukun syahadat ini dengan benar. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam keadaan ia mengetahui (kandungan makna) ‘laa ilaha illallah’ (bahwa tiada yang berhak disembah kecuali Allah), pasti masuk surga.” (H.R. Muslim).
2) Meyakini segala yang ditunjukkan oleh kalimat ini tanpa ada keraguan sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang mukmin itu hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu.” (Q.S. Al-Hujurat:15).
3) Menerima konsekuensi (tuntutan) kalimat ini berupa beribadah hanya kepada Allah semata dan meninggalkan beribadah kepada selain-Nya. Kedua tuntutan ini dilakukan tanpa adanya penolakan yang didasari keengganan, pembangkangan, dan kesombongan.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka (orang-orang kafir) apabila diucapkan kepada mereka ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah), maka mereka pun menyombongkan diri. Dan mereka berkata, ‘Apakah kita akan meninggalkan sesembahan-sesembahan kita karena penyair yang gila’.”(Q.S. Ash-Shaffat : 35-36).
4) Tunduk dan berserah diri terhadap segala tuntutan kalimat ini tanpa mengabaikannya. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang berserah diri kepada Allah dalam keadaan berbuat kebajikan, maka sungguh dia telah berpegang dengan tali yang sangat kuat (kalimat laa ilaha illallah).” (Q.S. Luqman : 22).
5) Jujur dalam mengucapkan kalimat ini dengan disertai hati yang membenarkannya. Jika seseorang mengucapkan kalimat ini namun hatinya mengingkari dan mendustakannya, maka ia termasuk orang munafik tulen.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia ada yang mengucapkan, ‘Kami beriman kepada Allah dan hari akhir’, padahal mereka tidak beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beiman. Tidaklah mereka menipu kecuali diri mereka sendiri sementara mereka tidak meyadari…” (Q.S. Al-Baqarah : 8-10).
6) Ikhlas dalam mengucapkannya dan memurnikan amal dari segala kotoran syirik, riya, atau mencari ketenaran, maupun tujuan-tujuan duniawi lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi orang yang mengucapkan ‘laa ilaha illallah’ dengan tujuan mengharap wajah Allah.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
7) Mencintai kalimat ini dan segala tuntutannya dengan tulus, serta mencintai orang yang melaksanakan tuntutannya.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai tandingan yang mereka mencintainya seperti mencintai Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (Q.S. Al-Baqarah : 165).
Mengajak orang lain untuk bertauhid dengan benar
Dewasa ini, banyak orang yang megucapkan kalimat ini namun menyalahi tuntutannya. Mereka beribadah atau memberikan persembahan kepada makhluk, seperti menyembelih dan bernadzar untuk kuburan, meletakkan sesajian di tempat keramat dan angker, serta bentuk-bentuk persembahan lainnya.
Mereka menyakini tauhid sebagai hal yang baru dan mereka juga mencela orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah semata. Mereka juga mengingkari serta memusuhi orang-orang yang mendakwahi mereka.
Padahal ajakan tersebut tersebut adalah bukti kecintaan dan kepedulian mereka. Para pendakwah tauhid tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa saudaranya akibat ketidaktahuannya akan suatu bahaya.
Sikap mereka ini merupakan bentuk pengamalan dari sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam yang maknanya, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Penulis: Abdullah (Mahasiswa Ma’had Ali Al-Imam Asy-Syafii Jember)
Sumber: https://muslim.or.id/2464-sekelumit-kalimat-syahadat-laa-ilaha-illallah.html
Murajaah Ustaz Abu Salman, B.I.S.